Kamis, 22 Maret 2012

Proposal Analisis Market Share Ekspor CPO Indonesia

Proposal Analisis Market Share Ekspor CPO Indonesia
By: Haris Susanto, Sp., MMA.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya, baik dari luas areal tanam maupun dari volume ekspor komoditi tersebut. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9,4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan 2002). Laju yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit merupakan salah satu primadona pada subsektor perkebunan.
Saat ini, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia yaitu mencapai 7.904,18 juta ton kemudian diikuti Malaysia dengan total 1.423,99 juta ton pada 2008. Suatu wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan (acquired advantages). Keunggulan alami yang dimiliki Indonesia adalah jumlah tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan luas lahan yang masih tersedia luas. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga lahan di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan di negara-negara lain yang penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamiah ini sangat mendukung perkembangan ekspor Indonesia seperti CPO yang padat karya dan berbasis SDA hingga saat ini.
Indonesia bila dilihat dari potensi luas lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia, ini merupakan keunggulan alamiah yang jauh lebih unggul dibanding Malaysia. Masih relatif rendahnya produksi kelapa sawit Indonesia dibanding Malaysia disebabkan berbagai permasalahan dan kurang optimalnya dukungan pemerintah. Diantara permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya pabrik pengolahan CPO, dan kurang berkembangnya industri hilir. Dari sisi pemerintah, selain belum maksimalnya program atau rencana pengembangan yang jelas dan terintegrasi di sub sektor kelapa sawit, perannya dalam hal riset, promosi, pemasaran maupun akses ke negara tujuan ekspor belum maksimal. Persoalan lain adalah kurang banyaknya pelabuhan ekspor, serta kurang memadainya sarana dan prasarana dari pelabuhan yang ada. Dari sisi eksternal banyaknya hambatan perdagangan yang dikenakan importir CPO terbesar dunia seperti India, Eropa dan Cina yang membuat aturan-aturan impor yang menyulitkan produsen, seperti bea masuk yang tinggi, pencantuman kandungan lemak jenuh dalam kemasan dan gencarnya promosi minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari sebagai pengganti CPO di negara-negara maju yang dapat mempengaruhi preferensi konsumen terhadap minyak sawit.
Ekspor minyak sawit Indonesia memiliki pertumbuhan yang paling mengesankan. Pada tahun 1982, nilai ekspor minyak sawit baru berkisar US$ 103 juta dan berada pada urutan ketujuh setelah kayu, karet, kopi, udang (dan hewan lainnya), tekstil dan teh. Pada tahun 1998 nilai ekspor minyak sawit telah mencapai US$ 1.525 milyar dan berada pada urutan pertama ekspor non-migas Indonesia (BPS, 1998). Kemudian pada tahun 2008 telah mencapai US$ 6.561.330.490 atau sebesar 7.904.178.630 kg, dan merupakan yang terbesar di dunia (Sumber : UN Comtrade). Dengan demikian dalam kurun waktu antara 1998-2008 terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar US$ 5.036.660.490 atau sebesar 330,27 persen.
Adanya perubahan struktur konsumsi CPO dunia, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia. Oleh karena itu, struktur produksi dan penawaran CPO Indonesia tidak saja akan tergantung pada faktor ekonomi internal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi eksternal/internasional.
Berdasarkan volumenya, perkembangan ekspor CPO Indonesia selalu mengalami peningkatan tiap tahun. Pada tahun 1996 volume ekspor CPO Indonesia mencapai 9,86 juta ton atau senilai US$ 487.032.032. Jumlah ini sedikit mengalami peningkatan pada tahun 1997 yang mencapai 14,48 juta ton atau senilai US$ 699.055.744. Satu tahun kemudian, volume ekspor CPO Indonesia kembali menurun menjadi 4,03 juta ton atau senilai US$ 220.634.416 pada tahun 1998. Tetapi, volume ini terus meningkat hingga pada estimasi volume 2008. Pada tahun 1998 volume ekspor CPO Indonesia menurun drastis, sedangkan tahun 1999 mulai mengalami kenaikan. Adapun besarnya penurunan volume ekspor CPO pada tahun 1998 disebabkan karena adanya krisis moneter yang melanda tujuan ekspor CPO Indonesia. Untuk jelasnya data ekspor CPO Indonesia di sajikan pada Tabel 1.1 berikut,

Tabel I.1. Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia Periode 1996-2008
Tahun Jumlah Esport
Kg US$
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 986.362.624
1.448.361.856
403.843.360
865.426.619
1.817.664.331
1.849.142.144
2.804.792.251
2.892.130.288
3.819.926.626
4.565.624.657
5.199.286.871
5.701.286.129
7.904.178.630 487.032.032
699.055.744
220.634.416
269.987.263
476.438.236
406.409.024
891.998.644
1.062.214.890
1.444.421.828
1.593.295.437
1.993.666.661
3.738.651.552
6.561.330.490
Sumber: Comtrade.un.org
Situasi pasar internasional, terutama dalam kurun waktu 1998-2000 ditandai adanya persaingan antar negara produsen yang melibatkan negara Indonesia, Malaysia, Thailand dan beberapa negara lainnya di Asia, Pasifik dan Afrika. Dalam perkembangannya, persaingan antar negara produsen CPO masih didominasi oleh Indonesia diikuti oleh Malaysia. Pasar ekspor CPO dunia adalah Cina, India, Netherland, Pakistan dan negara-negara Eropa Barat (Perancis, Spanyol dan Italia) dan beberapa negara lainnya. Kondisi tersebut menunjukkan pentingnya daya saing CPO Indonesia dalam mempertahankan market share maupun menerobos pasar ekspor.
Menurut Leamer dan Stern (1970) kegagalan ekspor suatu negara yang pertumbuhan ekspornya lebih rendah dari pertumbuhan ekspor dunia disebabkan oleh tiga alasan yaitu (1) ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang pertumbuhan permintaannya relatif rendah; (2) ekspor lebih ditujukan ke wilayah yang mengalami stagnasi; dan (3) ketidakmampuannya bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya. Asumsi dasar ini adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu negara di pasar dunia tidak berubah antar waktu. Oleh karena itu, perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan pertumbuhan yang mungkin terjadi apabila suatu negara dapat mempertahankan pangsa pasarnya, merupakan efek dari daya saing. Nilai daya saing yang negatif menggambarkan bahwa negara tersebut gagal dalam mempertahankan pangsa pasarnya, dan sebaliknya untuk nilai positif.
Pangsa pasar negara-negara di dunia sebagai tujuan ekspor CPO Indonesia sangat besar terutama di Asia sebagai tujuan ekspor CPO, hal ini memberikan gambaran bahwa perkembangan ekspor CPO Indonesia sangat bergantung pada permintaan dari negara-negara di kawasan Asia tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini mencoba menganalisis market share CPO Indonesia di pasar internasional dengan judul “Analisis Market Share Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Indonesia” Dari kajian ini diharapkan dapat ditelusuri upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan market share dan pengembangan pasar ekspor CPO Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah
Hal pokok yang perlu dikaji adalah analisis tentang kedudukan CPO Indonesia di pasar internasional, ditinjau dari ekspor CPO Indonesia maupun pengaruh harga dunia dan harga domestik.
Besarnya pangsa ekspor CPO Indonesia ke negara-negara di dunia dan khususnya di kawasan Asia, menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan tersebut. Hal ini sangat rentan terhadap kelangsungan pendapatan devisa yang diperoleh dari ekspor non migas, apabila terjadi suatu resesi ekonomi di kawasan ini, dan untuk melihat sejauh mana Indonesia mulai bergerak untuk mencari negara-negara tujuan ekspor non migas lainnya, diluar negara-negara yang menjadi pasar tujuannya.
Nilai ekspor CPO Indonesia ditentukan oleh volume ekspor dan harga CPO di pasar internasional. Fluktuasi harga di pasar domestik tidak terlepas dari pengaruh tingkat produksi CPO, kebijakan stok dan tingkat konsumsi CPO dunia. Perubahan permintaan CPO di pasar internasional akan mempengaruhi struktur harga, kemudian perubahan harga CPO dunia akan mempengaruhi produksi maupun penawaran ekspor CPO Indonesia. Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : bagaimanakah market share ekspor CPO Indonesia dan bagaimanakah pertambahan jumlah negara tujuan ekspor CPO serta trend ekspor CPO Indonesia dari tahun ke tahun.

1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. Market share ekspor CPO Indonesia di dunia
2. Trend ekspor CPO Indonesia dari tahun ke tahun.
3. Pertambahan jumlah negara tujuan ekspor CPO Indonesia di dunia


Sedangkan manfaat penelitian yang dilakukan adalah :
1. Bagi penulis untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang market share ekspor CPO Indonesia di pasar Dunia.
2. Sebagai referensi bagi pihak-pihak yang berminat terhadap informasi pemasaran CPO di Indonesia dan Internasional.
3. Dari hasil studi tersebut akan dapat diantisipasi perkembangan kelapa sawit Indonesia dan berguna untuk menyusun kebijakan selanjutnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Mengacu pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka ruang lingkup adalah menganalisis bagaimana daya saing ekspor CPO Indonesia dilihat dari market share dan keunggulan komparatifnya dibandingkan negara-negara lainnya sebagai produsen CPO.
Penelitian ini tidak meneliti pemasaran CPO di dalam negeri, tetapi pemasarannya di luar negeri yaitu ekspor. Adapun bentuk dari komoditi minyak kelapa sawit yang diteliti adalah jenis Crude Palm Oil (CPO) dengan kode HS 15111000.Penelitian ini dilaksanakan di Indonesia dimulai April 2010 dengan ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada market share yaitu dilihat dari efek pertumbuhan, efek komposisi produk, ukuran pasar dan efek daya saing untuk mengetahui perkembangan ekspor CPO Indonesia. maka model yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi hanya menggunakan analisa Constant Market Share (CMS) untuk mengukur kemampuan sektor-sektor merespon dorongan persaingan yang timbul akibat liberalisasi perdagangan, mengukur performan ekspor melalui perubahan pertumbuhannya dan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Kedua metode ini dianggap telah dapat menjawab dari tujuan penelitian.




























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Profil Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) sebagai salah satu produk yang dihasilkan dari sektor pertanian memiliki arti penting bagi pembangunan khususnya perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber devisa negara. Tanaman yang mempunyai usia produktif selama 20 tahun ini sangat potensial untuk dikembangkan, mengingat permintaan pasar crude palm oil (CPO) dari tahun ke tahun terus meningkat. Saat ini tanaman kelapa sawit merupakan komoditas andalan baik untuk peningkatan devisa maupun pemenuhan kebutuhan dalam negeri khususnya minyak goreng. Disamping itu komoditas ini juga dapat meningkatkan pendapatan petani pekebun dan sebagai upaya efektif yang dapat digunakan untuk membuka daerah-daerah terisolir (Lubis, 2000).
Kelapa sawit merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi dan industrinya termasuk padat karya. Manfaat dari buah kelapa sawit sendiri sangat bervariasi. Cukup banyak industri lain yang dapat menggunakan sebagai bahan baku produknya, seperti minyak goreng, makanan, kosmetik dan lain-lain. Industri/perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor unggulan Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar (Suryana, dkk, (2005).
Produk perkebunan merupakan produk yang diperdagangkan secara internasional sehingga mekanisme pasar terjadi di pasar internasional. Dengan keterbatasan aksesnya, pekebun pada perkebunan rakyat tidak mendapatkan informasi pasar secara efektif. Informasi pasar (harga, mutu, jumlah yang dibutuhkan, dan lain-lain) yang diperoleh secara efektif berasal dari pedagang atau industri pengolahan. Akibatnya, pekebun memperoleh informasi pasar yang bersifat tidak simetris. Secara nasional perkembangan pangsa pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu, tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal ini mengindikasikan daya saing industri dan produk perkebunan Indonesia masih sangat lemah. (Bambang Drajat, 2004).
Kelapa sawit di Indonesia merupakan tanaman primadona yang membuat masyarakat di luar program PIR-BUN mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas tertarik untuk menanam kelapa sawit secara swadaya. Akibatnya perkebunan kelapa sawit berkembang sangat cepat di Indonesia. Untuk masa datang, hal ini akan menjadi masalah karena perkembangan kebun tidak diikuti oleh perkembangan kapasitas pabrik kelapa sawit (PKS) untuk menampung tandan buah segar (TBS) dan industri olahan dari CPO tersebut. Dari sisi permintaan terhadap produk olahan CPO, prospek pengembangan industri hilir CPO juga cerah. Minyak kelapa sawit dapat diolah menjadi bermacam-macam produk. Kebutuhan terhadap produk olahan ini akan tinggi seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan dan pendapatan masyarakat. Kelapa sawit mempunyai prospek yang cukup baik untuk masa yang akan datang karena sebagai industri hulu produknya terkait dengan berbagai macam industri hilir. Kelapa sawit mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Kelapa sawit adalah tanaman tua yang mampu menghasilkan dalam jangka panjang (25 tahun) dengan biaya investasi yang hanya sekali dan tidak memerlukan perawatan intensif. Sementara saingannya adalah tanaman semusim yang memerlukan perawatan yang intensif. Produktivitas kelapa sawit (produksi/ha) jauh lebih tinggi dari pada jenis minyak nabati lain. Selain itu biaya produksinya juga jauh lebih rendah sehingga minyak kelapa sawit (CPO) dapat dijual dengan harga yang lebih bersaing sementara tingkat keuntungan bagi produsen tetap tinggi. Dengan keunggulan komparatif tersebut maka minyak kelapa sawit mempunyai prospek bagus dalam jangka panjang (Syahza, 2007).

2.2. Ekspor
Ekspor dapat diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi disuatu negara untuk dikonsumsikan di luar batas negara tersebut (Triyoso, 1994). Lebih jelas lagi, Deliarnov (1995) menambahkan bahwa ekspor merupakan kelebihan produksi dalam negeri yang kemudian kelebihan produksi tersebut dipasarkan di luar negeri.
Pengertian ekspor menurut Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, menyatakan bahwa ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pengaruh kinerja ekspor nasional terhadap perekonomian sesungguhnya tidak bisa hanya dilihat dari sumbangan terhadap penerimaan negara, melainkan juga harus dilihat dari laju pertumbuhan dan volume ekspor, serta tingkat diversifikasinya, baik dalam artian variasi pasar maupun produk (struktur ekspor). Bahkan, menurut Tambunan (2001), Indonesia baru dapat dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan ekspor, jika laju pertumbuhan ekspor rata-rata per tahun tinggi dan komposisi ekspornya tidak lagi hanya didominasi komoditas pertanian dan pertambangan (termasuk Migas), serta produk-produk Indonesia sudah masuk ke pasar dunia.
Peningkatan konsumsi yang signifikan terutama akan terjadi pada negara yang sedang berkembang seperti di Cina, Pakistan, India, Mesir, dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan konsumsi dengan laju sekitar 4%-6% per tahun. Konsumsi CPO di Cina dan Pakistan diproyeksikan juga akan tumbuh dengan laju sekitar 4-6% per tahun (Susila 1998).
Perdagangan (ekspor-impor) CPO dunia diproyeksikan akan meningkat dengan laju berkisar antara 2%-6% pada periode 2005-2025. Sampai dengan tahun 2010, perdagangan diperkirakan akan meningkat antara 4% - 6% pertahun. Pada periode 2010-2018, perdagangan masih terus meningkat namun dengan laju lebih rendah yaitu antara 2%-4%. Setelah tahun 2017, perdagangan akan stabil dengan laju peningkatan yang bersifat alami yaitu sekitar 2% per tahun. Dengan perkembangan tersebut, perdagangan CPO dunia pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai sekitar 23,46 juta ton. Pada tahun 2017, perdagangan CPO dunia sudah di atas 30 juta ton dan pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai 34,75 juta ton. Malaysia dan Indonesia tetap merupakan negara pengekspor utama dengan peluang peningkatan ekspor masing-masing sekitar 3,2% dan 6,5% per tahun. Dari sudut alokasi pangsa pasar, Indonesia diperkirakan masih menguasai pasar untuk negara-negara di beberapa Eropa Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman. Malaysia lebih banyak menguasai pasar China (1,8 juta ton), India (1,7 juta ton), EU (1,5 juta ton), Pakistan (1,1 juta ton), Mesir (0,5 juta ton), dan Jepang (0,4 juta ton) (Susila, 2006).
Perekonomian yang terjadi saat ini pada seluruh belahan dunia mengacu pada perekonomian terbuka dimana dalam kondisi ini setiap negara akan melakukan perdagangan antar negara atau perdagangan internasional. Tujuan dari suatu negara melakukan perdagangan adalah peningkatan welfare dari negara tersebut, atau dengan kata lain adanya perdagangan akan meningkatkan welfare dari negara yang berdagang tersebut. Saat suatu negara berkeinginan memaksimalkan Gain on Trade dalam rangka peningkatan welfare maka negara tersebut akan melakukan Strategic Trade Policies atau Strategi dalam Kebijakan Perdagangan yang terdiri atas dua strategi yaitu :
1. Export Promotion, dalam strategi ini arah dari setiap kebijakan perdagangan yang berorientasi untuk peningkatan daya saing komoditi export yang dimiliki oleh negara tersebut. Komponen kebijakan yang sering dipergunakan antara lain :
a. Duty Draw Back (Pengembalian Pajak Import bahan baku bila bahan baku tersebut diolah menjadi barang jadi dan di export kembali).
b. Pengurangan Pajak bagi Perusahaan yang berorientasi memproduksi barang-barang export.
c. Subsidi dan Dukungan Biaya Riset and Development pengembangan produk export
d. Devaluasi untuk peningkatan daya saing produk.
2. Import Substitusion, dalam strategi ini arah dari setiap kebijakan perdagangan yang berorientasi untuk membangun atau menciptakan industri yang tadinya merupakan komoditi Impor dari suatu negara. Tujuan dari strategi ini adalah penurunan jumlah komoditi impor dan digantikan produksi dalam negeri untuk komoditi tersebut. Komponen kebijakan yang sering dipergunakan antara lain :
a. Pengenaan Tarif yang Tinggi untuk komoditi impor
b. Kuota pada komoditi Impor
c. Non Tarif Barrier
d. Infant Industry Model (Ronny Salomo, 2007).

2.3. Konsep Market Share
Pasar yang menggambarkan semua pembeli dan penjual yang telibat dalam suatu transaksi aktual dan potensial terhadap barang atau jasa yang ditawarkan. Suatu transaksi yang bersifat potensial dapat terlaksana, apabila kondisi berikut ini terpenuhi, yaitu :
1. Terdapat paling sedikit 2 (dua) pihak
2. Masing-masing pihak memiliki suatu barang bagi pihak lain
3. Masing-masing mampu berkomunikasi dan menyalurkan keinginan
4. Masing-masing pihak bebas menerima atau menolak penawaran dari pihak lain
Definisi market share adalah merupakan besarnya bagian atau luasnya total pasar yang dapat dikuasai oleh suatu perusahaan yang biasanya dinyatakan dengan persentase. Menurut Douglas W. Foster (2000) dalam Tambunan (2001) yaitu : Memecah-mecah suatu keseluruhan yang heterogen menjadi bagian yang homogen yang mencakup para pelanggan yang mempunyai kepentingan yang sama untuk tujuan yang berbeda-beda.
Dari definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan market share adalah besarnya bagian pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan. Dengan kata lain penguasaan suatu produk terhadap pasar atau besarnya jumlah produk yang diminta yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dibandingkan dengan jumlah permintaan di pasar. Market share ini dapat dipecah-pecah menurut wilayah politis, kawasan geografis yang lebih besar, ukuran, pelanggan, tipe pelanggan, dan teknologinya.
Dengan mengetahui kedudukan produk dalam suatu pasar, maka perusahaan dapat menentukan langkah-langkah kebijaksanaan pemasaran yang tepat dan untuk memperluas market share yang ada, suatu perusahaan tidak boleh beranggapan bahwa kenaikan market share dalam pasar yang mereka layani secara otomatis akan memperbaiki tingkat pendapatan laba mereka. Hal ini tergantung pada strategi mereka dalam meningkatkan market share mereka, mungkin jauh melebihi nilai atau tingkat pendapatan mereka.
Perusahaan harus mempertimbangkan 3 faktor penting terlebih dahulu, sebelum melakukan perubahan guna meningkatkan market share yang telah dimiliki. Adapun 3 faktor penting yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kemungkinan timbulnya tindakan anti monopoli. Tindakan anti monopoli akan timbul, apabila suatu perusahaan menunjukkan peningkatan yang cukup drastis terhadap market share yang ada dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya.
2. Biaya ekonomi
3. Market share yang lebih besar mungkin mengurangi profitabilitas.
Perusahaan mungkin melakukan strategi bauran pemasaran yang keliru dalam mengejar market share yang lebih tinggi sehingga tidak menaikkan laba, walaupun bauran pemasaran tertentu efektif dalam meningkatkan market share, tetapi tidak semuanya dapat meningkatkan laba perusahaan yang diperoleh. Dengan kata lain market share yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan laba, jika biaya perunit yang ada menurun disertai dengan peningkatan market share. Dan jika perusahaan menawarkan produk yang berkualitas unggul dan mengenakan harga yang lebih tinggi, yang jauh lebih dari cukup untuk menutup biaya.
Perusahaan yang market share nya meningkat sudah tentu berkinerja lebih baik dari pada pesaingnya dalam 3 area, yaitu : kegiatan produk baru, kualitas produk relatif, dan pengeluaran pemasaran secara khusus.
1. Perusahaan yang menaikan market share, umumnya mengembangkan dan menambah lebih banyak produk baru ke lini produk mereka.
2. Perusahaan yang meningkatkan kualitas produk mereka melebihi pesaing yang ada, akan menikmati kenaikan market share yang lebih besar dari pada mereka yang tingkat kualitasnya stabil atau menurun.
3. Perusahaan yang meningkatkan pengeluaran pemasaran lebih besar dan lebih cepat dari tingkat pertumbuhan pasar, umumnya akan mencapai kenaikan market share.
4. Perusahaan yang menurunkan harga mereka jauh lebih besar dari pada harga yang dikeluarkan oleh pesaing tidak akan mencapai kenaikan pangsa pasar yang berarti.
Ada 4 ukuran atau 4 jenis dalam mendefinisikan dan mengukur market share yang ada dalam suatu pasar, ukuran market share tersebut antara lain :
1. Market share keseluruhan, market share keseluruhan adalah penjualan suatu perusahaan yang penjualnya dinyatakan sebagai persentase dari penjualan pasar secara total atau secara keseluruhan dalam suatu industri, diperlukan 2 (dua) keputusan untuk menggunakan ukuran ini yaitu : apakah proses perhitungan market share akan menggunakan perhitungan dalam unit penjualan atau dalam pendapatan penjualan (rupiah) untuk menyatakan market share.
2. Market share yang dilayani, market share yang dilayani adalah persentase dari total penjualan terhadap pasar yang telah dilayani oleh suatu perusahaan, pasar yang dilayani adalah semua pembeli yang dapat dan ingin membeli produknya.
3. Market share relatif (untuk 3 pesaing puncak), market share relatif jenis ini hanya menyatakan persentase penjualan suatu perusahaan dari penjualan gabungan 3 perusahaan pesaing terbesar dalam bidang yang sama.
4. Market share relatif (terhadap pesaing pemimpin), Beberapa perusahaan melihat market share mereka sebagai persentase dari penjualan pesaing pemimpin. Perusahaan yang memiliki market share lebih besar 100% disebut sebagai pemimpin pasar, sementara Perusahaan yang memiliki market share tepat 100% berarti perusahaan tersebut memimpin pasar yang ada bersama-sama.
Frohberg and Hartmann (1997), Kennedy, Harisson and Piedra (1998), Kennedy dan Rasson (2002) telah menggunakan market share sebagai indikator daya saing. Dari perspektif industri internasional atau daya saing produk mencerminkan kemampuan menghasilkan penambahan keuntungan dan memelihara market share dunia. Indikasi dari bentuk peningkatan market share adalah peningkatan daya saing, saat terjadi penurunan dalam market share akan menunjukkan penurunan didalam competitive advantage (Kennedy and Rasson, 2002). Dasar dari pendugaan untuk menjelaskan makna market share yang sebenarnya, Cooper and Nakanishi, (1998) telah mendefinisikan market share adalah sebagai bagian salah satu dari penjualan sebenarnya dalam bentuk kuantitas maupun dalam bentuk nilai ($) untuk sebuah produk pada jangka waktu periode tertentu pada suatu wilayah.
Dalam pengembangannya tidak ada perbedaan indikator dari ukuran daya saing sebagai dasar dalam pasar dan informasi perdagangan. Walaupun bentuk dari persaingan internasional, mereka boleh menggunakan perbedaan dari daya saing untuk wilayah yang berbeda. Meskipun ukuran dari perhitungan untuk satu produk atau kumpulan produk. Dengan demikian, sebagian besar dari indikator adalah dasar dalam perdagangan dibandingkan dengan pasar domistik. Meskipun hal ini tanpa masalah, satu keuntungan untuk digunakan sebagai data perdagangan untuk melihat respon permintaan dan penawaran guna mempertimbangkan secara serempak. Tambahan keuntungan dari menggunakan data perdagangan ini biaya pemasaran dan transportasi dari pelabuhan masuk dapat dikurangi. Beberapa indikator ini sangat sederhana, oleh karena itu sesuai dan dapat diterima. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, daya saing adalah suatu ukuran yang relatif. Dengan demikian, berdasarkan indikator pada market share hanya memberikan sedikit informasi pada posisi persaingan pada sebuah produk, sektor atau subsektor ekonomi. Indikator tersebut hanya membandingkan relatif satu sektor dengan kata lain hanya untuk mempertimbangkan bukan mencapainya.
Berbagai metode telah dikembangkan untuk mengukur daya saing ekspor produk pertanian suatu negara relatif terhadap negara-negara pesaingnya. Model market share Konstan (Constan Market Share/CMS) adalah metode yang sudah banyak digunakan. Latar belakang penggunaan model CMS adalah adanya kemungkinan bahwa suatu negara (misalnya Indonesia) selama suatu periode mengalami pertumbuhan ekspor lebih rendah dibanding dunia (sebagai standar).
Menurut Leamer dan Stern (1970), faktor penyebab lebih rendahnya pertumbuhan ekspor tersebut antara lain adalah ; 1) suatu negara pengekspor (misalnya Indonesia) hanya memfokuskan ekspornya pada suatu produk atau kelompok produk tertentu yang pertumbuhan permintaan ekspornya lambat, 2) ekspor tersebut lebih ditujukan ke negara-negara yang pertumbuhan ekonominya lambat, 3) negara pengekspor yang bersangkutan tidak mampu atau enggan bersaing dengan negara-negara pesaingnya. Berdasarkan alasan ini, daya saing ekspor suatu negara relatif terhadap negara-negara pesaingnya dapat dilihat dari segi komposisi produk yang di ekspor, kondisi ekonomi negara tujuan ekspor dan posisi negara pengekspor tersebut terhadap negara-negara pesaingnya.
Asumsi dasar dari analisis CMS adalah bahwa market share ekspor suatu negara di pasar dunia tidak berubah antar waktu. Oleh karena itu, perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan pertumbuhan yang mungkin terjadi apabila suatu negara dapat mempertahankan market share nya, merupakan efek dari daya saing. Nilai daya saing yang negatif menggambarkan bahwa negara tersebut gagal dalam mempertahankan market share nya, dan sebaliknya untuk nilai positif. Efek daya saing pada analisis CMS ini lebih bersumber dari daya saing harga. Pengembangan lebih lanjut dari aplikasi model CMS dilakukan oleh Chen dan Duan (1999) yang menggunakan dekomposisi dua tahap. Efek dari dekomposisi pertama dapat diuraikan menjadi 1) efek struktural, yang terdiri dari efek pertumbuhan, pasar, komoditas dan interaksi, 2) efek daya saing yang terdiri dari efek daya saing murni dan khusus, 3) efek order kedua yang terdiri dari efek order kedua murni dan efek sisaan struktur dinamik.
Seperti umumnya pada setiap model, model CMS juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan dari model CMS ini telah dikemukakan oleh Muhamad dan Habibah (1993) antara lain adalah bahwa persamaan yang digunakan sebagai basis untuk menguraikan pertumbuhan ekspor adalah persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan dari terjadinya perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi dengan hanya menggunakan model analisis CMS saja. Kelemahan analisis CMS lainnya adalah mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian, analisis ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang dihasilkan suatu negara.
Ukuran daya saing internasional menggambarkan dengan jelas indikasi dari suatu perusahaan atau subsektor secara relatif di dunia industri. UNIDO (1999) telah mengembangkan indikator untuk daya saing setiap subsektor dengan berbagai sektor bisa menunjukkan posisi dari subsektor tersebut. Indikator ini mencakup angka pertumbuhan ekspor, rasio ekspor output, neraca perdagangan, market share dari subsektoral ekspor dunia dan indikator RCA.
Sementara itu, Pitts dan Lagnevik (1997) mencatat banyak dan bermacam-macam indeks ukuran daya saing dari perspektif market share yaitu; Revealed Comparative Advantage (RCA) oleh Balassa (1965), The Relative Exsport Advantage Indexs (RXA), The Relative Import Penetrations Index (RMP), The Relative Trade Advantage Index (RTA) yang diusulkan oleh Balassa (1989) dan dipoerluas oleh Scott dan Vollrath (1992), Net Exsport Index oleh Balassa (1965), The Porter-Adapted Exsport Market Share (PXMS). Alternatif lain untuk pengukuran indeks ini telah dikembangkan oleh Traill dan Gomes da Silva (1994) yaitu dengan Foreign Direct Investment Index (FDI), The Porter-Adapted Index of Revealed Comparative Advantage (PRCA) dan The Dunning-Adapted Net Competitive Advantage Index (DNCA).
Model RCA telah diperkenalkan oleh Balassa (1965) dan kemudian diperluas lagi (Balassa 1978) yang meliputi langkah-langkah pendekatan pada industrialisasi, sebagai sebuah pembaharuan yang besar. Untuk sebuah negara tertentu, RCA di dalam sebuah produk dapat didefinisikan sebagai rasio share dari produk tersebut dalam perdagangan dunia. Balassa (1978) menyimpulkan bahwa comparative advantage adalah menyatakan secara relatif market share yang besar dari ekspor dan comparative disadvantage menunjukkan market share ekspor yang rendah.
RCA dapat digunakan oleh suatu negara terutama sekali untuk barang-barang yang dipasarkan di pasar internasional untuk mengetahui market share barang-barang tersebut pada pasar internasional untuk semua macam barang untuk mempermudah presentasi. Jika penerimaan indeks ini mempunyai nilai yang lebih besar dari secara keseluruhan, maka negara harus mempertimbangkan untuk memperoleh RCA dalam produk saat nilai secara keseluruhan berada pada comparative disadvantage (Yeats, 1989). Ukuran RCA bisa digunakan untuk mengidentifikasi sektor secara individu dimana negara tersebut memiliki comparative advantage dan comparative disadvantage. Bila ukuran relatif tersebut berhasil di dalam mengekspor dan tidak bergantung pada teori lain mengenai inter-industry trade, faktor dukungan, eksis atau sebaliknya pada perdagangan bebas atau persaingan sempurna (Pitts dan Lagnevik, 1997).
Peranan penting dari RCA adalah untuk mengukur tingkat comparative advantage pada komoditi spesifik, kedudukan negara ditingkat comparative advantage, dan memberikan batasan antara negara pada persaingan yang sehat di dalam beberapa komoditi dan semua yang tidak boleh dilakukan (Balance et al, 1987); Forstner and Balance, 1990). Yang lebih penting lagi, RCA bisa dipakai untuk mempekerjakan pada analisis shift dalam persaingan, pola perdagangan, dan penyesuaian susunan dalam industri secara individu, negara dan wilayah (Rana, 1990; Yamazawa et al, 1991: Fukasaku, 1992; Chow dan Kellman, 1993).
Kelemahan RCA dalam pengukuran persaingan semata-mata pangsa ekspor suatu negara hanya dalam sisi ekspor produk saja, dengan demikian mengabaikan dari sisi import (Grimwade dan Mayes, 2000). Jika sebuah negara mengekspor beberapa produk dalam kelompok subtansial komoditi tertentu dan juga beberapa impor lainnya dalam kelompok yang tidak dapat dipertimbangkan, ini tidak menutup negara itu untuk memperoleh/menikmati secara keseluruhan comparative advantage di dalam kategori produk. Hal ini karena rasio ekpor dan impor (X/M) bisa digunakan untuk mengidentifikasi sektor dimana negara mempunyai kekuatan aktual pada keduanya yaitu ekspor dan sisi impor. Further, Pitts dan Lagnevik (1997) mencatat RCA sebagai ukuran statis yang sangat utama, karena RCA bisa untuk menghitung keterangan-keterangan dari industri suatu negara tiap tahun, menemukan trend yang benar kira-kira dari ukuran atau pertumbuhan pasar dunia dan ukuran secara umum.
Untuk mengatasi kelemahan dari indikator RCA, dengan demikian (Balassa 1989, Scott dan Vollrath 1992), Vollrath, 1990); memperkenalkan indikator dengan lebih canggih dan ukuran yang comprehensive dari daya saing internasional dengan penghitungan dari aspek ekspor dan impor mereka memasukan dengan cara berikut ; the raltive export advantage index (RXA), the reltive import penetration index (RMP) and the relative trade advantage index (RTA).
Keunggulan dari pengukuran ini bahwa dunia secara keseluruhan selalu dapat dihitung berlaku untuk semua negara kecuali satu kajian. Ini menghindari menghitung negara dan komoditi antara keduanya pada penghitungan dan angka sebutan yang sama. Dengan demikian, bukannya mencakup semua ekspor, tapi negara mempertimbangkan komoditi yang akan dikeluarkan bilamana total ekspor meningkat. Aspek ini relevan terutama jika sebuah negara secara wajar dan penting di dalam perdagangan pasaran internasional, dan atau jika komoditi yang dipertimbangkan adalah penting dalam jumlah perdagangan. Dalam kasus ini, penghitungan double akan mudah menyimpang dari nilai bias.

2.4. Penelitian Berkaitan dengan Market Share
Hasil penelitian Muh. Nasir dkk (1998) tentang Constan Market Share (CMS) pada ekspor cocoa beans Malaysia menunjukkan bahwa share ekspor Malaysia ke dunia mengalami peningkatan dari 60.104 ton (8,6%) pada periode I meningkat menjadi 158.914 ton (13,1%) pada periode ke II, yang mewakili keuntungan dari 98.810 ton. Jika Malaysia ingin mempertahankan share sebesar 8,6% pada periode II, maka ekspor Malaysia ke dunia harus sebanyak 104.586 ton. Jika Malaysia ingin mempertahankan di periode II pada market share individu di pasar individu pada periode I, maka ekspor cocoa beans akan mencapai 162.879 ton. Perbedaan kedua gambaran tersebut memberikan efek distribusi sebesar 52.293 ton dengan jumlah untuk shift yang sangat penting pada pasar yang berbeda. Pada efek size market menunjukkan perbedaan antara kuantitas ekspor actual di periode I dibandingkan dengan hipotesis kuantitas ekspor pada periode II (jika Malaysia ingin mempertahankan market share diperiode II sama dengan periode I). Oleh karena itu, perbedaan dengan nilai yang sama pada jumlah 44.482 ton adalah efek dari size market. Pada efek daya saing dengan nilai yang sama antara agregat ekspor actual di period II tak sebanyak hipotesis ekspor Malaysia diperiode II dibandingkan market share periode I. Dimana efek daya saing adalah -3.965 ton. Kontribusi relative pada setiap efek dalam perubahan ekspor cocoa beans malaysia adalah 45% untuk market share, 59% untuk efek distribusi dan -4% untuk efek daya saing.
Sedangkan hasil dari analisis RCA menunjukkan bahwa total trade ratio pada total ekspor masih konstan pada tahun 1980, dan mengalami penurunan pada periode 1991-1993 dengan kisaran 2,9% per tahun, indikasi dari RCA yang buruk. Penurunan market share Malaysia pada ekspor cocoa beans tidak secara bebas menurunkan daya saing. Factor suplay merupakan factor yang dominant dalam kasus ini. Produksi cocoa beans telah menurun dengan tajam sejak puncaknya pada tahun 1990. Produksi pada tahun 1990 mencapai 247.000 ton dan menurun menjadi 200.000 ton pada tahun 1993. Penurunan harga cocoa dan ketersediaan stok merupakan alternatif investasi yang menguntungkan, dimana oil palm secara dengan peledakan disektor manufakturing dengan mengalihkan sumber daya dari kontribusi produksi cocoa ke penurunan dalam produksi.
Faktor lain yang secara cepat dalam penurunan adalah kilang domistik cocoa beans. Kilang domistik telah bangkit dengan cepat dari 27.000 ton pada tahun 1985 (25% dari produksi) menjadi 100.000 ton pada tahun 1993 (50% dari produksi).
Sedangkan hasil pada eksport performance ratio cocoa beans menunjukkan penurunan trend pada periode 1986-1990 dan periode 1991-1993 dengan rate -2,2% dan -17,3% berturut-turut, sebaliknya pada periode 1981-1985 ratio mengalami peningkatan pada rate 17,9%. Ekspor performance ratio untuk produk cocoa mengalami peningkatan trend.
Temuan analisis CMS tersebut mengusulkan disamping menyusutkan market share pada perdagangan cocoa beans, Malaysia juga harus mampu menjamin secara signifikan dan peningkatan share dari perdagangan produk cocoa beans di dunia. Pada analisis RCA menunjukkan bahwa Malaysia tidak memiliki keunggulan comparative pada sector produk cocoa. Ini memiliki hubungan dengan implikasi kebijakan. Temuan ini memberikan dukungan yang kuat untuk usaha lebih lanjut dalam melakukan spectrum dari produk palm oil untuk memenuhi pertumbuhan permintaan dunia akan produk cocoa secara terus menerus.
UNIDO (2000) memperkenalkan laporan hasil kajian pada Daya Saing Industri Manufaktur Indonesia untuk Tahun 1990-1998. Rasio konsentrasi (CR4) dan Hirschmann-Harfindahl Index (HHI) telah digunakan. Hasil dari kajian menunjukkan bahwa nilai dari CR4 untuk sektor industri makanan (level dua digit) adalah 59% di tahun 1990 sebelum mengalami penurunan ke 56% pada tahun 1998. sedangkan nilai dari HHI pada tahun 1996 adalah 0,22 point dan berkurang pada 0,17 point tahun 1998. lebih lanjut Departemen Perindustrian dan Perdagangan Indonesia (2002) juga telah melakukan kajian pada daya saing beberapa komoditi kelompok makanan dengan menggunakan RCA untuk tahun 2000. Hasil dari analisis RCA untuk kategori komoditi seperti; fish, crustaceans, mollusks, aquatic invertebrate’s nes adalah 3,96; coffe, tea, mate and spices adalah 5,59; animal, vegetable fats dan oils, cleavage product dan lain-lain adalah 8,62 atau posisi di pasar dunia yaitu 6,3 dan 2 berturut-turut. Implikasi ini menunjukkan bahwa semua komoditi tersebut berdaya saing tinggi di pasar dunia, hal ini mencerminkan dimana nilai RCA lebih besar dari 1.
Tham (2001) dengan menggunakan data dari Bank Sentral Malaysia dengan menggunakan model RCA, net export ratio and world export ratio methods digunakan untuk menganalisis daya saing ekspor Malaysia. Disini ditemukan bahwa ekspor Malaysia adalah produk dengan teknologi yang tinggi yang tumbuh semakin baik antara 1989-1998. Dimana nilai RCA menunjukkan pertumbuhan yang semakin baik dari 1,93 pada tahun 1994 ke 3,24 pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, nilai NTR menunjukkan hanya 2 teknologi tinggi yang bisa memperlihatkan nilai positif yaitu pada barang mesin komputer yaitu 0,47 dan alat telekomunikasi 0,02 pada tahun 1994, dan mengalami peningkatan menjadi 0,57 dan 0,03 pada tahun 1998 berturut-turut. Sedangkan nilai WES untuk kedua barang tersebut adalah 1,93 dan 3,81 pada tahun 1994 dan mengalami peningkatan ke 3,24 dan 3,81 di tahun 1998. Terutama untuk dua barang, industri minuman dan tembakau mengindikasikan bagian nilai ekspor dunia untuk industri barang tersebut menurun dari 2,4 tahun 1986 ke 1,35 tahun 1996, sedangkan untuk industri minuman dan tembakau menunjukkan peningkatan dari 0,14 ke 0,19 dan 0,01 ke 0,44 di tahun 1986 dan 1996 berturut-turut. Berdasarkan pada ketiga indikasi nilai tersebut dapat digunakan sebagai landasan industri ekspor Malaysia melakukan peningkatan setelah terjadinya krisis ekonomi. Departemen investasi luar negeri telah mendirikan secara relatif sumber daya penting untuk daya saing pada perbandingan nilai tukar.
Takashi et al (2002) melakukan kajian pada analisis perdagangan intra dan inter regional di kawasan Asia Timur; struktur comparative advantage dan dinamik interdependency dalam arus perdagangan dengan menggunakan data ekspor dan impor data satu, dua dan tiga digits klasifikasi kode perdagangan internasional dan revealed comparative advantage (RCA), revealed comparative disadvantage (RCDA) dan relative revealed trade advantage (RTA) yang digunakan sebagai indicator. Hasil kajian menunjukkan sebagian besar Negara di kawasan Asia Timur mempunyai revealed comparative advantage pada kategori produk yang berisi share yang tinggi yang berhubungan dengan barang informasi telekomunikasi (khusunya; mesin perkantoran dan mesin pengolah data otomatis dan mesin elektrik) dan banyak kasus pada revealed comparative advantage yang terkait dengan revealed comparative disadvantage dari segi impor.
Kajian ini telah diselenggarakan di Thailand’s Competitiveness oleh Punyasavatsut (2002) yang mencakup periode dari tahun 1991-2000. Indikator ekonomi digunakan pendekatan revealed comparative advantage (RCA), indek and real effective exchange rate (REER) indek. Disini ditemukan indek RCA lebih besar dari 1 dengan trend yang menaik (food and beverages, office, accounting and computing machinery, electrical machinery and apparatus, radio, television and communication equipment); indek RCA yang lebih besar dari 1 tapi dengan penurunan trend (pada pakaian jadi kecuali kaos kaki, kulit, produk dari kulit dan kaos kaki, furniture dan jenis produksi lainnya); Indek RCA kurang dari 1 dan trend yang menurun (tekstil, kayu dan olahan dari kayu, kertas dan produk dari kertas, petroleum refineries, chemical dan chimecal products, non metallic mineral products, basic metal industries, fabricated metal products, and machinery and equipment). Setelah Baht mengalami devaluasi, level yang rendah pada inflasi harga memberikan sebuah kejutan yang besar. Tapi, inflasi moderat ini berimplikasi pada efektifnya nilai tukar riil dan meningkat secara bersamaan. Mengabaikan kejadian akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, nilai tukar riil yang efektif berlawanan dengan peningkatan partner berdagang sebanyak 10% setelah terjadinya krisis yaitu pertengahan tahun 1999. yang lebih penting, efektivitas nilai tukar riil berlawanan dengan pesaing yang telah mengapresiasikan ke tingkat sebelum devaluasi, menurunkan harga daya saing ekspor Thai. Dari pertengahan tahun 1999 ke akhir tahun 2000, efektivitas nilai tukar riil terdepresiasi kembali ke 10%. Produksi ekspor Thai berkembang dengan sangat pada masa Baht, yang menggandakan nilai pada tahun 1995. Ekspor produksi Thai dalam US $ meningkat 19,5 per cent di tahun 2000.
Traill dan Gomes da Silva (1996) telah melakukan analisis daya saing pada industri makanan Italia dengan menggunakan pengukuran tradisional (RCA) dan juga lebih baru dari pada pengukuran dengan penghitungan account pada tingkat FDI. Mereka menemukan ukuran RCA untuk industri makanan Italia menunjukkan sedikit peningkatan trend, sementara trend dalam net ekport telah terjadi sedikit penurunan. Cara ini adalah sebagai dasar perusahaan makanan Italia bersaing secara relatif akan lebih baik dibandingkan dengan industri Italia lainnya dipasar dunia. Bagaimanapun, ketika produksi luar negeri telah tercatat di account, indeks ini menyatakan perusahaan Italia telah keluar dari daya saing dari saingannya diluar negeri. Dengan demikian sebuah performance internasional yang negatif adalah ciri khas dari Italia.
Dennis dan Laincz (1998) telah menguji pada daya saing nilai tukar dan ekspor Indonesia. Faktanya menunjukkan gambaran yang relatif daya saing nilai tukar yang mempengaruhi ekspor. Sebuah persentase devaluasi yang relatif di dalam sebuah negara pesaing yang bisa berpotensi menurunkan 1 sampai 5 persen ekspor ditunda di negara pesaingnya yang mendavulasikan dan sektor yang dilakukan pengujian. Hasil kajian menunjukkan sektor elektronik sebagai sektor yang sebagian besar dengan berat mudah kehilangan daya saing pada 4 sektor yang diuji. Elastisitas permintaan untuk ekspor elektronik diestimasikan pada range antara 3 sampai 6, dimana rata-rata elastisitas untuk kombinasi jumlah untuk keempat sektor tersebut (tekstil, pakaian, kaos kaki, dan elektronik) diantaranya adalah 1,5 sampai 4,5. Dengan demikian, permintaan ekspor ini harus ditetapkan berdasarkan fungsinya tidak hanya untuk nilai tukar dalam negeri dan secara keseluruhan permintaan pasar, tapi juga nilai tukar dari negara pesaing.
Perdagangan internasional dan pengganti penanaman modal asing atau pelengkap telah dipelajari oleh Marchant et al (2002). Mereka menggunakan bentuk dari model FDI dan persamaan ekspor teori permintaan konsumen US, data yang digunakan adalah kumpulan dari data pengolahan industri makanan untuk tahun 1989-1998 untuk negara Asia Timur; China, Jepang, Singapura, Korsel dan Taiwan. Hasil empiris telah menunjukkan pada nilai tukar ditemukan pengaruh secara positif nilai FDI; ini berarti jika Dollar mengalami apresiasi, akan menjadi sangat relatif menjadi lebih murah untuk perusahaan US untuk menginvest keluar negeri. Untuk selama-lamanya, nilai tukar merupakan yang sangat penting bagi ekspor US ke negera Asia. Hal ini mengindikasikan ketika terjadi peningkatan nilai tukar akan menyebabkan penurunan ekspor US, ini menandakan ketika dollar terapresiasi, akan menjadi mahal lagi untuk konsumen luar negeri untuk membeli barang-barang dari United Stated.
Hasil kajian tentang analisis trend oleh Wieta (2008) pada prediksi penawaran dan permintaan kedelai dengan analisis deret waktu, menunjukkan hasil bahwa Kedelai merupakan salah satu komoditas palawija yang prospek pengembangannya masih sangat besar di masa yang akan datang. Berdasarkan Angka Ramalan III tahun 2008, luas panen kedelai di Indonesia adalah 579,59 ribu hektar, produktivitasnya adalah 13,13 ku/ha dan produksi 761,21 ribu ton. Laju pertumbuhan permintaan kedelai adalah 0,05% per tahun. Model analisis untuk luas panen dibuat dengan metode Winter Multiplicative dengan persamaan Xt = Tt * Ct * St * It dimana nilai MAPE-nya 14. Persamaan model regresi untuk produktivitas adalah Yt = 11,32 + 0,0399t -0,325DII dengan nilai R2 = 76,9%. Persamaan model trend linier untuk permintaan kedelai adalah Yt = 12.2441 - 0.284902*t dengan MAPE = 9,44. Berdasarkan model yang disusun, tahun 2009 dan 2010 diperkirakan Indonesia masih akan defisit kedelai sebesar 771 ribu ton untuk tahun 2009 dan 705 ribu ton untuk tahun 2010. Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu dilakukan penyusunan kebijakan yang tepat untuk dapat mencukupi kebutuhan akan kedelai dalam negeri.

2.5. Analisis Trend
Data berkala adalah data yang dikumpulkan dari waktu kewaktu untuk menggambarkan perkembangan suatu kegiatan (perkembangan produksi, harga, hasil penjualan, ekspor-impor, jumlah personil, jumlah kecelakaan dan lain sebagainya). Analisis data berkala memungkinkan kita untuk mengetahui perkembangan suatu atau beberapa kejadian serta hubungan dan pengaruhnya terhadap kejadian lainnya (Supranto, 2000).
Salah satu maksud analisis deret data berkala ialah memberi cara untuk memisahkan komponen-komponen agar dapat menentukan trend sekuler, siklic, variasi musim secara terpisah dan yang bebas dari variasi random. Hal sedemikian itu dianggap perlu karena analisa trend sekuler penting sekali bagi tujuan ekstrapolasi. Trend statistik impor dan ekspor dapat diekstrapolasikan guna menaksir gerakan impor dan ekspor dimasa mendatang. Hasil ekstrapolasi membawa serta asumsi bahwa kausa-kausa yang mempengaruhi gerakan trend diwaktu yang lalu diharapkan akan berulang lagi pada waktu mendatang. Menurut Dajan (1987) trend sekuler merupakan gerakan yang berjangka panjang, lamban dan berkecenderungan menuju kesatu arah menaik atau menurun. Trend sekuler demikian umumnya meliputi gerakan yang lamanya sekitar 10 tahun atau lebih.
Menurut Supranto (2000) klasifikasi gerakan berkala terdiri dari 4 macam atau komponen yaitu sebagai berikut ; 1) gerakan trend jangka panjang (long movement of skuler ternd), 2) gerakan siklis (cyclical movement of priation), 3) gerakan musiman (seasonal movement variation).
Trend pertumbuhan industri dan ekonomi, perkembangan permintaan dan sebagainya dapat dibagi kedalam 4 tahap. Tahap pertama merupakan tahap pertumbuhan yang masih kecil dan lambat. Tahap kedua merupakan tahap pertumbuhan yang laju sekali. Tahap ketiga merupakan tahap pertumbuhan yang mencapai titik jenuh (saturationt point) dan pada tahap terakhir, pertumbuhan akan mencapai titik seimbang (Dajan, 1987).
Garis trend pada dasarnya adalah garis regresi dimana variabel bebas X merupakan variabel waktu. Baik garis regresi maupun trend dapat berupa garis lurus (linier regresion/trend) maupun bukan lurus (non linier regresion/trend). Dengan bentuk persamaan Y’ = a + bX. Dalam hal ini b adalah rata-rata kenaikan Y persatuan waktu (per bulan, per tahun dan lain sebagainya). Ada beberapa trend yang tidak linier dapat dibuat linier dengan jalan melakukan transformasi (perubahan bentuk). Misalnya trend eksponensial : Y’ = abx dapat diubah menjadi trend semi log : Y’ = log a + (log b) X ; log Y’ = Y’0; log a = a0 dan log b = b0. Dengan demikian, Y’0 = a0 + b0X, dimana koefisien a0 dan b0 dapat dicari dengan persamaan normal. Trend eksponensial sering digunakan untuk meramalkan jumlah penduduk, pendapatan nasional, produksi, hasil penjualan dan kejadian-kejadian lain yang perubahannya secara geometris (Supranto, 2000).
Mencari garis trend juga berarti mencari nilai a dan b dari persamaan garis trend Y’ = a + bX. Garis trend tersebut dimaksudkan untuk mewakili suatu diagram pencar. Tidak semua titik koordinat yang membentuk diagram pencar tersebut terletak tepat pada garis trend, ada yang diatas dan ada juga yang dibawahnya. Apabila semua kesalahan atau nilai e sama dengan nol, maka semua titik diagram pencar akan terletak pada garis trend, yang dalam prakteknya jarang terjadi. (Supranto, 2000).
Metode kuadrat terkecil (least square method) untuk mencari garis trend dimaksudkan suatu perkiraan atau taksiran mengenai nilai a dan b dari persamaan Y’ = a + bX yang didasarkan atas data hasil observasi sedemikian rupa, sehingga dihasilkan jumlah kesalahan kuadrat terkecil (minimum). Jadi persamaan garis trend, dapat ditulis Y = a + bX, dan disini nilai Y ada dua macam yaitu berdasarkan pencatatan dan trend (Supranto, 2000).
Taksiran trend dihitung dengan ketentuan bahwa sejumlah deviasi kuadrat antara tiap nilai deret waktu dengan nilai trend adalah minimum. Data deret waktu timbul karena pengaruh berbagai faktor seperti tingkat penghasilan, selera konsumen, keadaan musim, alam lingkungan dan lain sebagainya. (Djarwanto, 1987).

2.6. Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya, negara-negara ASEAN memproduksi dan mengkonsumsi produk pertanian yang hampir sama, tetapi jumlah produksi, jumlah konsumsi dan daya saingnya berbeda-beda. Ada negara yang surplus produksi dan daya saing produk pertaniannya tinggi dan ada pula negara yang mengalami defisit produksi dan daya saingnya rendah. Negara-negara yang selama ini mengalami defisit produksi dan daya saingnya rendah akan meningkatkan volume impornya dari negara-negara yang mengalami surplus produksi produk tersebut dan daya saingnya tinggi. Dalam hal ini akan terjadi persaingan tajam antar negara-negara pengeskpor untuk memasok negara-negara pengimpor yang sama. Namun negara-negara pengimpor akan memilih negara-negara pengekspor yang lebih sesuai ditinjau dari aspek efisiensi (paling murah untuk kualitas yang sama) dan aspek kualitas (sesuai dengan selera).
Indonesia sendiri mempunyai dua kelompok besar produk pertanian, yaitu produk promosi ekspor dan produk substitusi impor. Untuk produk promosi ekspor, produk ini juga diproduksi dan diekspor oleh negara-negara ASEAN lainnya yang cukup kompetitif. Sebagai contoh CPO oleh Malaysia. Dengan kata lain, market share ekspor produk CPO Indonesia di ASEAN mungkin tidak besar. Jika demikian, maka Indonesia perlu mencari alternatif pasar tujuan ekspor di negara lainnya, yang daya serapnya mungkin jauh lebih besar dibanding pasar di ASEAN. Hal ini penting untuk menghindari kejenuhan pasar di dalam negeri dan pasar ASEAN sehingga Indonesia akan mampu melakukan ekspansi produksi dan ekspor demi perbaikan pendapatan petani untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang hingga kini masih terasa.
Neraca perdagangan produk pertanian antara Indonesia dan masing-masing negara ASEAN lainnya diperkirakan akan berubah. Namun besar dan arah perubahan neraca perdagangan tersebut tergantung pada seberapa jauh Indonesia mampu bersaing untuk menembus pasar-pasar potensial di dunia dan mampu membendung arus impor dari pasar internasional. Namun untuk beberapa produk pertanian Indonesia diperkirakan mempunyai keunggulan cukup tinggi, diantaranya adalah CPO.
Untuk dapat memenangkan persaingan sesama negara penghasil CPO, paling sedikit ada 3 faktor penting yang harus diperhatikan oleh masing-masing negara penghasil CPO (termasuk Indonesia), yaitu komposisi produk, distribusi pasar dan daya saing. Negara yang lebih mampu memilih komposisi produk yang diekspornya secara lebih tepat, lebih mampu memilih pasar (negara tujuan) yang pertumbuhan impornya tinggi dan mempunyai daya saing lebih tinggi akan lebih mampu memenangkan persaingan. Indonesia diharapkan akan menjadi pemenang dalam persaingan perdagangan CPO antar negara penghasil CPO dunia apabila mempunyai kelebihan-kelebihan tersebut.









Perubahan Ekspor


1. Efek Komposisi Produk
2. Efek Distribusi Pasar
3. Efek Daya Saing


CMS negatif CMS CMS Positif
1. Net export negatif
2. Export performance ratio < 1 RCA 1. 1.Net export/Total trade ratio 2. Expor performance ratio 1. Net export positif 2. Export performance ratio > 1




1. Tidak mampu memilih komposisi produk
2. Tidak mampu memilih pasar
3. Tidak mempunyai daya saing 1. Mampu memilih komposisi produk
2. Mampu memilih pasar
3. Mempunyai daya saing




Tidak Mampu mempertahankan Market Share Mampu mempertahankan
Market Share












BAB III
METODE PENELITIAN


3.1. Metode dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis data sekunder, dengan pertimbangan bahwa data yang digunakan merupakan data ekspor impor CPO Indonesia dan telah tersaji dalam data base website commodity trade (Comtrade.un.org).
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan yang dimulai dari bulan April sampai bulan Juli 2010 yang meliputi kegiatan penyusunan proposal, pengumpulan data, pentabulasian data, analisis data, penulisan laporan, perbanyakan laporan dan seminar hasil penelitian.

3.2. Pengumpulan dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan adalah data time series untuk menganalisis perkembangan ekspor-impor CPO Indonesia selama 13 tahun (1996-2008). Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa selama periode tersebut dapat menggambarkan tentang trend export baik dari segi volume, nilai dan perkembangan jumlah negara pengimport.
Sedangkan sumber data, merupakan data sekunder yang diperoleh dari website commodity trade (Comtrade.un.org) selected classification HS2007. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi berupa penelusuran berbagai dokumentasi yang secara resmi diterbitkan oleh instansi pemerintah (BPS) seperti Indonesia dalam Angka, Data export dan Import Indonesia.
3.3. Konsep Operasional
1. Crude Palm Oil (CPO) merupakan minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah yang berwarna jingga karena mengandung karotenoida (terutama β-karotenoida), berkonsentrasi padat pada suhu kamar (konsistensi dan titik lebur banyak ditentukan oleh kadar ALB-nya).
2. Market share adalah besarnya bagian atau luasnya total pasar yang dapat dikuasai oleh suatu perusahaan/negara yang biasanya dinyatakan dengan persentase.
3. Constant market share (CMS) adalah kaedah yang sering digunakan dalam penelitian tentang prestasi eksport suatu negara yang dapat mengetahui secara umum faktor utama yang menerangkan pertambahan atau pengurangan suatu eksport negara, baik dari segi kuantiti maupun nilai uang.
4. Nilai RCA (Revealed Comperative Advantage) merupakan gambaran dari kinerja ekspor suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 (satu) dianggap memiliki kinerja ekspor yang cukup baik.
5. Indeks RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global. Indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.
6. Daya saing adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional.
7. Daya saing ekspor adalah gambaran tingkat daya saing produk ekspor hasil industri di pasar dunia dengan melihat besarnya pangsa pasar di dunia. Batasan yang dianggap mempunyai daya saing adalah yang pangsa di dunia lebih besar dari 1%.
8. Ekspor dapat diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi disuatu negara untuk dikonsumsikan di luar batas negara tersebut.
9. Faktor keunggulan komparatif adalah sebagai faktor yang bersifat alamiah
10. Faktor keunggulan kempetitif adalah sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan.
11. Perubahan ekspor CPO adalah perubahan volume ekspor diseluruh pasar CPO dunia.
12. Efek pertumbuhan adalah perubahan total impor CPO dunia
13. Efek distribusi pasar adalah perubahan distribusi pasar CPO di pasar dunia.
14. efek komposisi komoditas adalah komposisi komoditas CPO di pasar dunia.
15. Efek interaksi adalah interaksi distribusi pasar dan komposisi komoditas.
16. Efek kompetitif umum adalah perubahan daya saing dari pengekspor terhadap total ekspor di pasar dunia.
17. Efek kompetitif spesifik adalah peruabahan daya saing pengekspor untuk spesifik komoditas di pasar dunia.
18. Trend adalah gerakan yang berjangka panjang, lamban dan berkecenderungan menuju kesatu arah; arah menaik atau menurun.

3.4. Analisis Data
1. Analisis Market Share dan Pertambahan Negara Tujuan Ekspor
Dari data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode Constan Market Share (CMS) dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Penggunaan kedua indikator tersebut untuk menganalisis daya saing ekspor CPO (Crude Palm Oil) Indonesia selama periode waktu analisis.
Model CMS berfungsi untuk menganalisis pertumbuhan ekspor suatu negara (Tyszynki, 1951). Model CMS menguraikan keuntungan atau kerugian ekspor dari aspek luas pasar (size of market), Distribusi Pasar (market distribution) dan daya saing (competitiveness). Persamaan model CMS untuk mengidentifikasi perubahan ekspor negara selama periode 13 tahun dapat dirumuskan sebagai berikut:
q1 – q0 = rq0 + (ri – r) q0 + (q1i – q0i –ri q0i) ……………………. (1)
Dimana:
q = Total ekspor
qi = Expor CPO ke sebuah negara i (eksport to market i)
r = Tingkat pertumbuhan total export CPO dunia (rate of growth of total world exports)
ri = Tingkat pertumbuhan total export CPO ke negara i (rate of growth of world exports to market i)
0 = Periode awal (initial period)
1 = Periode berikut (second period)
Nilai daya saing yang negatif menggambarkan bahwa negara tersebut gagal dalam mempertahankan market share nya, dan sebaliknya untuk nilai positif, bahwa negara tersebut mampu mempertahankan market share nya.
Model RCA mengukur perubahan manfaat kompetisi dari negara pengeskpor dan perubahan ekspor bersih per total perdagangan dan pencapaian ratio ekspor (Balasa, 1965; UNIDO, 1982; Arif and Hill, 1985). Model RCA dapat dianalisis dengan dua indikator ratio yaitu:

a. Net Export/Total Trade Ratio
Ratio (nxij) ekspor bersih komoditi j (CPO) terhadap persentase dari total perdagangan dalam komoditi CPO, untuk negara i,
nxij = [(Xij – Mij) / (Xij + Mij)] x 100 …………………………. (2)
dimana:
Xij = Export CPO Indonesia (country i’s exports of commodity CPO)
Mij = Import CPO Indonesia (country i’s import of commodity CPO)
Ratio positif menunjukkan adanya keunggulan comparative (RCA, revealed comparative advantage) dan nilai negative menunjukan ketidakunggulan comparative (RCDA, revealed comparative disadvantage). Akan tetapi, kenaikan ratio kemungkinan besar bisa memperkuat dari revealed comparative advantage.

b. Export Performance Ratio
Export performance ratio (epij) menyatakan market share negara i (Indonesia) dari ekpor komoditi j (CPO) dari total ekpor komodity j (CPO) dunia, dengan rumus;
epij = [(Xij / Xwj) / (Xie / Xwe)] ………………………………….. (3)
dimana;
Xij = Export CPO Indonesia (country i’s exports of commodity j)
Xwj = Export CPO Dunia (world exports of commodity j)
Xie = Total Export Indonesia (country i’s total exports)
Xwe = Total Export Dunia (world total exports)
Nilai ratio yang lebih besar dari satu (>1) menunjukkan bahwa negara pengeksport tersebut memiliki keunggulan comparative dan sebaliknya.

2. Analisis Trend
Trend ekspor CPO (Crude Palm Oil) Indonesia digunakan rumus menurut Djarwanto (1987) ;
Y = a + bX ................................................................................. (4)
Keterangan :
Y : Jumlah ekspor CPO Indonesia
a : Nilai Y apabila X = 0 (Intercept)
b : Besarnya perubahan variabel Y yang terjadi pada setiap perubahan satu unit variabel X (koefisien arah garis regresi)

X : Periode waktu (tahun)
Rumus untuk mendapatkan nilai a dan b adalah:
………………………………………………………. (5)
……………………………………………………… (6)
Dimana :
Y = Jumlah ekspor tahun yang diamati
X = Periode waktu
n = Deret waktu (tahun)
Sedangkan untuk menghitung pertumbuhan tahunan ekspor digunakan rumus sebagai berikut:
Pt = Po (1 + r)n ………………………………………. (7)
Keterangan:
Pt = Tahun akhir
Po = Tahun awal
n = Lama tahun proyeksi
r = Pertumbuhan

Cara Cepat Hamil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar